BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Di negara maju, penyakit kronik tidak menular (cronic
non-communicable diseases) terutama penyakit kardiovaskuler, hipertensi,
diabetes melitus, dan penyakit ginjal kronik, sudah menggantikan penyakit
menular (communicable diseases) sebagai masalah kesehatan masyarakat utama.
Rahardjo (1996) mengatakan bahwa jumlah
penderita CRF atau gagal ginjal kronik terus meningkat dan diperkirakan
pertumbuhannya sekitar 10% setiap tahun. Saat ini belum ada penelitian
epidemiologi tentang prevalensi
penyakit ginjal kronik di Indonesia. Dari data di beberapa pusat nefrologi di
Indonesia diperkirakan insidens dan prevalensi penyakit ginjal kronik
masing-masing berkisar 100-150/ 1 juta penduduk dan 200-250/ 1 juta penduduk.
Berdasarkan hasil studi dokumentasi dari bagian pencatatan
dan pelaporan di Ruang Melati Lantai 2 Rumah Sakit Pusat dr. Hasan Sadikin
Bandung, tercatat selama kurun waktu bulan Januari sampai dengan April 2008, klien
yang dirawat dengan gagalginjal
kronik mencapai 22 orang dengan persentase 27,5%. (http://tutorialkuliah.blogspot.com/2009/02/
tugas-akhir-tentang-gagal-ginjal-kronik.html)
Pada manusia, ginjal merupakan
salah satu organ yang memiliki fingsi vital yang berfungsi untuk mengatur
keseimbangan air dalam tubuh, mengatur konsentrasi garam dalam darah dan
keseimbangan asam-basa darah, serta sekresi bahan buangan dan kelebihan garam
(Pearce, 1999: 987). Keadaan dimana fungsi ginjal mengalami penurunan yang
progresif secara perlahan tapi pasti, yang dapat mencapai 60 % dari kondisi
normal menuju ketidakmampuan ginjal ditandai tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah
nitrogen lain dalam darah) disebut dengan gagal ginjal kronik (Pearce, 1999:
989). Pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik dapat mempertahankan hidupnya lebih lama dan
berkualitas dengan hemodialisa
(cuci darah), hemodialisa
merupakan pilihan utama saat ini dengan teknik menggunakan mesin dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang terampil serta profesional.
Penatalaksanaan yang tidak baik
pada klien dengan gagal ginjal kronik akan mengarah pada komplikasi pada sistem
tubuh lain yaitu gagal jantung, hipertensi, anemia, ulserasi lambung, asidosis
metabolik, gangguan pernapasan sampai akhirnya menyebabkan kematian. Perawat sebagai tenaga
kesehatan profesional mempunyai kesempatan
paling besar untuk memberikan pelayanan kesehatan khususnya
pelayanan/asuhan keperawatan yang komprehensif meliputi
bio-psiko-sosio-spiritual.
Dengan melihat permasalahan diatas, penulis tertarik untuk
mengangkat kasus tersebut sebagai judul makalah yaitu “Asuhan Keperawatan pada
Pasien dengan Gagal Ginjal Kronik”.
B.
Tujuan
Penulisan Makalah
1.
Tujuan
Khusus
Mahasiswa dapat mengerti dan mengimplementasikan
asuhan keperawatan pada klien dengan gagal ginjal kronis.
2.
Tujuan
Umum
Mahasiswa dapat mengetahui dan
mejelaskan:
a.
Pengertian dari gagal
ginjal kronis
b.
Anatomi dan fisiologi
dari ginjal manusia
c.
Etiologi dari gagal
ginjal kronis
d.
Patofisiologi dari
gagal ginjal kronis
e.
Tanda dan Gejala dari
gagal ginjal kronis
f.
Pemeriksaan diagnostik
dari gagal ginjal kronis
g.
Penatalaksaan medis
dari gagal ginjal kronis
h.
Komplikasi dari gagal
ginjal kronis
i.
Asuhan keperawatan pada
Pasien dengan gagal ginjal kronis
C.
Ruang
Lingkup
Pembahasan makalah ini di batasi oleh tinjauan teori mengenai asuhan keperawatan pada pasien dengan
gagal ginjal kronis.
D.
Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari dua BAB, yaitu:
BAB I Pendahuluan terdiri dari latar belakang,
tujuan penulisan makalah, ruang lingkup,
sistematika penulisan, dan metode penulisan.
BAB II Tinjauan teori terdiri dari pengertian, anatomi
fisiologi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, pemeriksaan
diagnostik, penatalaksaan medis, kompliksai dan asuhan keperawatan pada pasien
dengan gagal ginjal kronis.
BAB III Penutup terdiri dari kesimpulan dan saran
E.
Metode
Penulisan
Dalam penulisan makalah ini penulis melakukan studi kepustakaan yang
menggambarkan tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan gagal ginjal kronis,
dan menggunakan beberapa sumber buku keperawatan sebagai referensi serta
menggunakan media internet.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A.
Pengertian
Gagal ginjal terjadi
ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh atau melakukan
fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya di eliminasi di urine menumpuk
dalam cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan
fungsi endokrin dan metabolik, cairan, elektrolit, serta asam basa (Toto
Suharyanto, dkk., 2009: 183).
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir
atau (ESRD/ end stage renal disease) merupakan gangguan fungsi renal yang
progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah) (Suzanne C. Smeltzer, dkk.,
2002: 1448).
Gagal ginjal kronis (chronic renal failure) adalah
kerusakan ginjal progresif yang berakibat fatal dan ditandai dengan uremia
(urea dan limbah nitrogen lainnya yang beredar dalam darah serta komplikasinya jika tidak dilakukan
dialisis atau transplantasi ginjal) (Nursalam. 2006: 47).
Gagal ginjal kronik (chronic renal failure, CRF)
terjadi apabila kedua ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan dalam yang cocok untuk
kelangsungan hidup, kerusakan pada kedua ginjal ini irreversible (Mary
Baradero,dkk., 2009: 124).
Gagal ginjal kronis (GGK) biasanya akibat akhir dari
kehilangan fungsi ginjal lanjut secara bertahap (Marilynn E. Doenges, dkk.,
2000: 626).
B.
Anatomi
dan Fisiologi
Fungsi
ginjal, menurut Syaifuddin, 2009: 254
adalah sebagai berikut :
1.
Mengatur volume air
(cairan) dalam tubuh
2.
Mengatur keseimbangan osmotik dan
keseimbangan ion
3.
Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh
4.
Ekskresi sisa-sisa
hasil metabolisme
5.
Fungsi hormonal dan metabolisme
6.
Pengaturan tekanan
darah
7.
Pengeluaran zat beracun
C.
Etiologi
Menurut
Kowalak, dkk., 2011: 561 gagal ginjal kronis dapat disebabkan oleh:
1.
Penyakit glomerulus
yang kronis (glomerulonefritis)
2.
Infeksi kronis (seperti pielonefritis
kronis dan tuberkulosis)
3.
Anomali kongenital
(penyakit polikistik ginjal)
4.
Penyakit vaskuler
(hipertensi, nefroskerosis)
5.
Obstruksi renal (batu
ginjal)
6.
Penyakit kolagen (lupus
eritematosus)
7.
Preparat nefrotoksik
(terapi aminoglikosid yang lama)
8.
Penyakit endokrin
(nefropati diabetik)
Kriteria penyakit gagal ginjal kronis
1.
Kerusakan ginjal
(renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) atau Glomerulus Filtration Rate (GFR), dengan manifestasi:
a.
Kelainan patologis
b.
Kelainan ginjal,
kelainan komposisi darah atau urine, atau kelainan dalam tes pencitraan
(imaging tets)
2.
Laju filtrasi
glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan,
dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Klasifikasi
Rumus Kockcroft-Gault:
LFG (ml/menit/1,73m2)
= (140 – umur) x BB *
72 x kreatinin plasma (mg/dl)
*)
pada perempuan dikalikan 0,85
Klasifikasi penyakit ginjal kronis atas dasar derajat
penyakit
Derajat
|
Penjelasan
|
LFG
(ml/menit/1,73m2)
|
I
|
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau
|
≥ 90
|
II
|
Kerusakan ginjal dengan LFG rendah
|
60 - 90
|
III
|
Kerusakan ginjal dengan LFG sedang
|
30 - 59
|
IV
|
Kerusakan ginjal dengan LFG berat
|
15 - 29
|
V
|
Gagal ginjal
|
< 15 atau dialisis
|
D.
Patofisiologi
Kerusakan nefron berlangsung progresif, nefron yang
sudah rusak tidak dapat berfungsi dan tidak bias pulih kembali. Nefron
yang masih hidup akan mengalami
hipertrofi dan meningkatkan kecepatan filtrasi, reabsorpsi, serta sekresi.
Ekskresi kompensasi terus berlanjut ketika laju glomerulus semakin menurun.
Fungsi
renal menurun, produk akhir metabolisme protein (yang normalnya di ekskresikan
kedalam urine) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap
system tubuh. Kulit akan berwarna kuning kelabu ketika pigmen urine (urokrom)
menumpuk didalamnya dan menimbulkan pruritus. Asam urat dan substansi lain
dalam keringat akan mengkristal dan tertimbun pada kulit sebagai uremic frost. Kadar kalsium plasma yang
tinggi juga akan disertai dengan keluhan pruritus.
Urine
dapat mengandung protein, sel darah merah, dan sel darah putih atau sedimen
(endapan) dalam jumlah abnormal. Karena terjadi penurunan laju filtrasi
glomerulus, kadar kreatinin plasma meninggi secara proporsional jika tidak
dilakukan penyesuaian untuk mengaturnya. Ketika pengangkutan natrium kedalam
nefron meningkat maka lebih sedikit natrium yang direabsorpsi sehingga terjadi
kekurangan natrium dan deplesi volume.
Ginjal tidak mampu lagi memekatkan dan mengencerkan urine.
Pada
glomerulusklerosis terjadi distorsi lubang filtrasi dan erosisel epitel
glomerulus yang meningkatkan transportsi cairan melalui dinding glomerulus.
Protein berukuran besar melintasi lubang
tersebut kemudian terperangkap dalam
membrane basalis glomerulus dan
menyumbat kapiler glomerulus. Cedera epitel dan endotel menyebabkan
proteinuria.
Pada
insufisiensi ginjal yang dini terjadi peningkatan ekskresi asam dan reabsorpsi
fosfat untuk mempertahankan pH normal. Ketika lajufiltrasi glomerulus menurun
hingga 30-40% maka terjadi asidosis metabolik
yang progresif dan sekresi kalium
dalam tubulus renal meningkat..Kadar
kalium total tubuh dapat meningkat hingga taraf yang dapat menyebakan
kematian dan memerlukan dialysis. Dengan
manifestasi, mukosa GI mengalami inflamasi serta ulserasi, dan gusi dapat
terjadi ulserasi serta perdarahan. Pernafasan kusmaul, stomatitis, uremic fetor
(napas berbau amonia), singulus, ulkusp eptikum, dan pankreatitis. Malnutrisi
dapat terjadi sekunder karena anoreksia, keadaan mudah lelah, dan penurunan
asupan protein dari makanan.
Konsekuensi
ekstrarenal. Perubahan fisiologis mempengaruhi lebih dari satu sistem. Pada
beberapa ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, ginjal tidak dapat menyimpan
garam dan terjadi hiponatremia. Mulut yang kering, mudah lelah, mual,
hipotensi, kehilangan turgor kulit dan gejala gelisah dapat berlanjut menjadi
somnolensia dan konfusi. Selanjutnya, ketika jumlah nefron yang masih berfungsi
semakin berkurang, kapasitas ginjal untuk mengekskresi natrium dan kalium juga
semakin menurun. Retensi natrium menyebabkan kelebihan muatan cairan dan edema;
kelebihan muatan kalium menyebabkan iritabilitas otot serta kelemahan otot dan
aritmia jantung yang mengancam jiwa
pasien.
Jika
penyebab GGK adalah penyakit interstisial tubulus, maka kerusakan primer pada
tubulus renal, yaitu nefron pada medula renal, gejalanya deplesi garam dan
gangguan pengenceran serta pemekatan
urine. Jika penyebab primernya adalah kerusakanva vaskuler atau
glomerulus, maka gejala
proteinuria, hematuria, dan
sindrom nefrotik lebih menonjol.
Perubahan
keseimbangan asam-basa akan mempengaruhi keseimbangan kalsium dan fosfor. Eksresi fosfat melalui ginjal dan sintesis
vitamin D oleh ginjal akan berkurang. Hipokalsemia mengakibatkan
hipoparatiroidisme sekunder, penurunan laju filtrasi glomerulus,
hiperfosfatemia yang progresif, hipokalsemia, dan disolusitulang..
Cedera
tubulointerstisial terjadi karena toksin atau kerusakan iskemik pada tubulus
renal. Debris dan endapan kalsium menyumbat tubulus. Defek transportasi
tubulusadalahedema interstisial, infiltrasi leukosit, dan nekrosis tubuler.
Cedera vaskuler menyebabkan iskemia difus atau lokal pada parenkim renal yang
disertai penebalan, fibrosis, atau lesi lokal pembuluh darah ginjal. Kemudian
penurunan aliran darah menimbulkan atrofi tubulus, fibrosis interstisial dan
disrupsi fungsional pada filtrasi glomerulus, dan pemekatan.
Pada
akhirnya, glomerulus yang sehat menanggung beban kerja yang berlebihan sehingga
organ ini mengalami sklerosis, menjadi kaku, dan nekrosis. Zat-zat toksik
menumpuk dan perubahan yang potensial membawa kematian terjadi pada semua organ
penting.
Anemia normokromik normositik
dan gangguan trombositketika terjadi
penurunan sekresi eritropoietin, yang menyebabkan penurunan produksi sel darah
merah di dalam sumsum tulang. Zat-zat toksik uremik yang menyertai gagal ginjal
kronis akan memperpendek kelangsungan hidup sel darah merah. Pasien akan
mengalami letargi dan rasa pening.
Demineralisasi
tulang (ostiodistrofi renal), yang bermanifestasi nyeri tulang dan fraktur
patologis, disebabkan oleh beberapa faktor:
1.
Penurunan aktivasi
vitamin D oleh ginjal, yang mengurangi absorpsi kalsium dari makanan.
2.
Retensi fosfat yang
meningkatkan ekskresi kalsium ke dalam urine
3.
Peningkatan kadar
hormon paratiroid di dalam peredaran darah akibat penurunan eksresi hormon
tersebut dalam urine.
Gagal
ginjal kronis meningkatkan risiko kematian akibat infeksi. Keadaan ini
berhubungan dengan supresi imunitas diantara sel dan penurunan jumlah serta
fungsi limfosit dan sel-sel fagosit.
F.
Tanda
dan Gejala
Tanda
dan gejala gagl ginjal kronis menurut Kowalak, dkk., 2011: 561 meliputi:
1.
Hipervolemia akibat retensi
natrium
2.
Hipokalsemia dan
hiperkalemia akibat ketidakseimbangan elektrolit
3.
Azotemia akibat retensi
zat sisa nitrogenus
4.
Asidosis metabolik
akibat kehilangan bikarbonat
5.
Nyeri tulang serta otot
dan fraktur yang disebabkan oleh ketidakseimbangan kalsium-fosfor dan
ketidakseimbangan hormon paratiroid yang ditimbulkan
6.
Neoropati perifer
akibat penumpukan zat-zat toksik
7.
Mulut yang kering,
keadaan mudah lelah, dan mual akibat hiponatremia
8.
Hipotensi akibat
kehilangan natrium
9.
Perubahan status
kesadaran akibat hiponatremia dan penumpukan zat-zat toksik
10.
Frekuensi jantung yang
tidak regular akibat hiperkalemia
11.
Hipertensi akibat
kelebihan muatan cairan
12.
Luka-luka pada gusi dan
perdarahan akibat koagulopati
13.
Kulit berwarna kuning
tembaga akibat perubahan proses metabolik
14.
Kulit yang kering serta
bersisik dan rasa gatal yang hebat akibat uremic frost
15.
Kram otot dan kedutan
(twitching) yang meliputi iritabilitas jantung akibat hiperkalemia
16.
Pernapasan kusmaul
akibat asidosis metabolik
17.
Infertilitas, penurunan
libido, amenore, dan impotensi akibat gangguan endokrin
18.
Perdarahan GI,
hemoragi, dan keadaan mudah memar akibat trombositopenia dan defek trombosit
19.
Infeksi yang
berhubungan dengan penurunan aktivitas makrofag
G.
Pemeriksaan
Diagnostik, menurut Kowalak, dkk., 2011: 565
1.
Hasil pemeriksaan darah,
meliputi:
a.
penurunan pH darah
arteri dan kadar bikarbonat; kadar hemoglobin dan nilai hematokrit yang rendah
b.
pemendekan usia sel
darah merah, trombositopenia ringan, defek trombosit
c.
kenaikan kadar ureum,
kretinin, natrium, dan kalium
d.
peningkatan sekresi
aldosteron yang berhubungan dengan peningkatan produksi renin
e.
hiperglikemia (tanda
kerusakan metabolisme karbohidrat)
f.
hipertrigliseridemia
dan kadar high-density lipoprotein
yang rendah
2.
Hasil urinalisis yang
membantu penegakan diagnosis, meliputi:
a.
berat jenis yang tetap
pada nilai 1,010
b.
proteinuria,
glikosuria, sel darah merah, leukosit, silinder, atau kristal yang bergantung
pada penyebab
3.
Hasil pemeriksaan lain
yang digunakan untuk menegakkan diagnosis gagal ginjal, meliputi:
a.
Penurunan ukuran ginjal pada foto rontgen BNO,
urografi ekskretori, nefrotomografi, CT scan renal atau arteriografi renal
b.
biopsi renal untuk
menentukan penyakit yang melatari
c.
EEG untuk mengenali
ensefalopati metabolik
H.
Penatalaksanaan
Medis
Menurut
Toto Suharyanto dan Abdul Madjid, 2009: 189 Pengobatan gagal
ginjal kronis dapat dibagi menjadi
2 (dua) tahap, yaitu:
1)
Tindakan konservatif, untuk meredakan atau
memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif
a.
Pengaturan diet
protein, kalium, natrium dan cairan
1. Pembatasan protein,
tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi juga mengurangi asupan kalium dan
fosfat, serta mengurangi produksi ion hidrogen yang berasal dari protein. Jumlah
kebutuhan protein biasanya dilonggarkan sampai 60-80 g/hari, apabila penderita
mendapatkan pengobatan dialisis teratur.
Rasional: Untuk
membatasi produk akhir metabolisme protein yang tidak dapat di ekskresi oleh
ginjal. Menurunkan kadar ureum dan kreatinin dalam darah, mencegah/mengurangi
penimbunan garam/air dalam tubuh.
2. Diet rendah kalium.
Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut. Asupan kalium
dikurangi. Diet yang dianjurkan adalah 40-80 mEq/hari.
3. Diet rendah natrium.
Diet Na yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 g Na). Asupan natrium yang
terlalu longgar dapat mengakibatkan retensi cairan, edema perifer, edema paru,
hipertensi dan gagal jantung kongestif.
4. Pengaturan cairan.
Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus diawasi dengan
seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran cairan yang dicatat
dengan tepat adalah pengukuran berat badan harian. Asupan yang bebas dapat
menyebabkan beban sirkulasi menjadi berlebihan, dan edema. Sedangkan asupan
yang terlalu rendah, mengakibatkan dehidrasi, hipotensi dan gangguan fungsi
ginjal.
b.
Pencegahan dan
pengobatan komplikasi
1.
Hipertensi.
Dapat dikontrol dengan pembatasan natrium dan cairan; pemberian diuretik:
furosemide (Lasix); pemberian obat antihipertensi: metildopa (aldomet),
propranolol, klonidin (catapres), apabila penderita sedang mengalami terapi
hemodialisa, pemberian antihipertensi dihentikan karena dapat mengakibatkan
hipotesi dam syok yang diakibatkan oleh keluarnya cairan intravaskuler melalui
ultrafiltrasi.
2.
Hiperkalemia.
Merupakan komplikasi yang paling serius, karena bila K+ serum
mencapai sekitar 7 mEq/L, dapat mengakibatkan aritmia dan juga henti jantung.
Hiperkalemia dapat di obati dengan pemberian glukosa dan insulin intravena,
yang akan memasukkan K+ ke dalam sel, atau dengan pemberian Kalsium
Glukonat 10%.
3.
Anemia.
Diakibatkan penurunan sekresi eritropoeitin oleh ginjal. Pengobatannya adalah
pemberian hormon eritropoetin, yaitu rekombian
ertropoeitin (r-EPO), selain dengan pemberian vitamin dan asam folat, besi
dan tranfusi darah.
4.
Asidosis.
Biasanya tidak diobati kecuali HCO3 plasma turun dibawah angka 15
mEq/L. bila asidosis berat akan dikoreksi dengan pemberian Na HCO3
(Natrium Bikarbonat) parenteral. Koreksi pH darah yang berlebihan dapat
mempercepat timbulnya tetani, maka harus dimonitor dengan seksama.
5.
Diet
rendah fosfat. Dengan pemberian gel yang dapat
mengikat fosfat di dalam usus. Gel yang dapat mengikat fosfat harus dimakan
bersama dengan seksama.
6.
Pengobatan
hiperurisemia. Pemberian alupurinol. Obat ini mengurangi kadar asam urat dengan menghambat
biosintesis sebagian asam urat total yang dihasilkan tubuh.
2) Dialisis
dan transplantasi
Pengobatan gagal ginjal stadium
akhir adalah dengan dialisis dan trasplantasi ginjal. Dialisis dapat
digunakan untuk mempertahankan penderita dalam keadaan klinis yang optimal
sampai tersedia donor ginjal.
Dialisis
dilakukan apabila kadar kreatinin serum biasanya diatas 6 mg/ 100 ml pada
laki-laki atau 4 ml/ 100 ml pada wanita, dan GFR kurang dari 4 ml/ menit.
I.
Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi
pada gagl ginjal kronis menurut Kowalak
dkk, 2011: 564, meliputi:
1.
Anemia
Pada
GGK, anemia terjadi karena berkurangnya produksi hormon eritropoeitin (EPO)
akibat berkurangnya massa sel-sel tubulus ginjal. Hormon ini diperlukan oleh
sumsum tulang untuk merangsang pembentukan sel-sel darah merah dalam jumlah
yang cukup untuk mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Jika
eritropoietin berkurang, maka sel-sel darah merah yang terbentuk pun
akan berkurang, sehingga timbullah anemia.(http://fajarcihapit.wordpress.com/2010/04/25/komplikasi-gagal-ginjal-kronik)
Faktor
lain yang juga berperan dalam terjadinya anemia adalah :
a.
kekurangan zat besi,
asam folat, vitamin B12, karnitin
b.
penghambat
eritropoietin (peradangan, hiperparatiroidisme)
c.
perdarahan
d.
umur sel darah merah
yang memendek (misalnya pada anemia hemolitik, anemia sickle cell/anemia bulan
sabit)
2.
Neoropati
perifer (kerusakan saraf)
Beberapa penyakit metabolik lainnya
mempunyai kaitan yang erat dengan neuropati perifer. Uremia atau gagal
ginjal kronik, mempunyai resiko 10-90% mengembangkan gejala neuropati, dan mungkin
terdapat kaitan antara gagal hati dan neuropati perifer.Terakumulasinya lemak
di dalam pembuluh darah (aterosklerosis) dapat memutus
suplai darah
kepada saraf perifer tertentu.
Tanpa oksigen dan nutrisi, saraf tersebut perlahan akan mati. (http://www.scribd.com/doc/73486383/ Neuropati-Perifer)
3.
Komplikasi
kardiopulmoner
Penderita GGK juga berisiko
mengalami gagal jantung atau penyakit jantung
iskemik. Gagal
jantung adalah suatu keadaan dimana jantung tidak dapat memompa
darah dalam jumlah yang memadai ke seluruh tubuh. Jantung tetap bekerja tetapi
kekuatan memompa
atau daya tampungnya berkurang. Gagal
jantung bisa menyerang jantung bagian kiri, bagian kanan atau keduanya.
Gagal jantung
pada GGK biasanya didahului oleh anemia. Jika tidak diobati,
anemia pada GGK bisa
menimbulkan masalah yang serius. Jumlah sel darah merah yang rendah akan memicu
jantung sehingga jantung bekerja lebih keras. Hal ini menyebabkan pelebaran
bilik jantung kiri yang disebut LVH (left
ventricular hypertrophy). Lama kelamaan, otot jantung akan melemah dan
tidak mampu memompa darah sebagaimana mestinya sehingga terjadilah gagal
jantung. Hal ini dikenal dengan nama sindrom kardiorenal.
4. Komplikasi GI: Dapat
berupa anoreksia, nausea, muntah yang dihubungkan dengan terbentuknya zat
toksik (amoniak, metal guanidin) akibat metabolisme protein yang terganggu oleh
bakteri usus sering pula faktor uremikum akibat bau amoniak dari mulut. Sehingga
terkristalisasi dari keringat dan membentuk serbuk putih di kulit (bekuan
uremik). Beberapa penderita merasakan gatal di seluruh tubuh. Disamping itu
sering timbul stomatitis. Gastritis erosif hampir dijumpai pada 90% kasus GGK,
bahkan kemungkinan terjadi ulkus peptikum dan kolitis uremik.
5. Disfungsi seksual
Gangguan
sistem endokrin yang terjadi pada GGK menyebabkan berkurangnya produksi hormon
testosteron. Hormon
ini diperlukan untuk menghasilkan sperma (spermatogenesis), merangsang libido
dan untuk fungsi seksual yang normal. Selain itu, secara emosional penderita GGK
juga mengalami perubahan emosi. Perasaan
cemas, khawatir dan depresi dapat menyebabkan terkurasnya energi, berkurangnya
kemampuan dan hilangnya keinginan untuk melakukan berbagai aktivitas, termasuk aktivitas
seksual. (http://fajarcihapit.wordpress.com/2010/04/25/komplikasi-gagal-ginjal-kronik)
6.
Defek
skeletal
Kelainan tulang pada GGK yang
terjadi akibat gangguan metabolisme mineral disebut sebagai osteodistrofi
renal. Pada keadaan ini, ginjal gagal
mempertahankan keseimbangan kadar kalsium dan fosfat dalam darah. Jika kadar fosfat dan
kalsium dalam darah sangat tinggi (hasil kali kadar kalsium dan fosfat mencapai
> 70 mg/dL) maka selain demineralisasi tulang, pada GGK akan terjadi
pengendapan garam kalsium fosfat di berbagai jaringan lunak (kalsifikasi
metastatik).
Mineral yang membangun dan
memperkuat tulang adalah kalsium. Jika kadar kalsium di dalam darah terlalu
rendah, maka 4 kelenjar kecil di daerah leher – yaitu kelenjar paratiroid –
akan melepaskan hormon paratiroid. Hormon ini akan menarik kalsium dari tulang
supaya kadar kalsium dalam darah meningkat. Jika jumlah hormon paratiroid dalam
darah terus meningkat, maka akan semakin banyak kalsium yang diambil dari
tulang sehingga akhirnya tulang mengalami demineralisasi dan menjadi rapuh.
Kadar kalsium dalam darah juga
ditentukan oleh fosfat. Ginjal
yang sehat bertugas membuang kelebihan fosfat dari darah. Jika ginjal gagal
berfungsi, maka kadar fosfat dalam darah dapat meningkat dan menyebabkan kadar
kalsium dalam darah menurun sehingga semakin banyak kalsium yang diambil dari
tulang untuk mengkompensasi kadar fosfat yang tinggi dan tulang menjadi rapuh.
Ginjal yang sehat menghasilkan
kalsitriol, suatu bentuk aktif vitamin D, yang bertugas membantu menyerap kalsium dari makanan ke
dalam tulang dan darah. Jika kadar kalsitriol turun sangat rendah maka
penyerapan kalsium dari makanan juga terganggu, akibatnya kadar hormon
paratiroid akan meningkat dan merangsang pengambilan kalsium dari tulang.
Kalsitriol dan hormon paratiroid bekerja sama untuk menjaga keseimbangan
kalsium dan kesehatan tulang.
7.
Parestesia
8.
Disfungsi
saraf motorik, seperti foot drop dan
paralisis flasid
9.
Fraktur
patologis
J.
Asuhan
Keperawatan pada Pasien dengan Gagal Ginjal Kronis
1.
Pengkajian
Menurut
Marilynn E. Doengoes, data dasar pengkajian pada pasien dengan GGK yaitu:
a.
Aktivitas/istirahat
Gejala:
Keletihan, kelemahan, malaise.
Tanda:
Kelemahan otot, kehilangan tonus.
b.
Sirkulasi
Tanda:
Hipotensi atau Hipertensi (eklampsi), distritmia jantung, nadi lemah/halus,
hipovolemia, DVJ, nadi kuat (hipervolemia), edema jaringan umum, pucat,
kecenderungan perdarahan.
c.
Eliminasi
Gejala:
Perubahan pola berkemih biasanya: peningkatan frekuensi, poliuri (kegagalan
dini), atau penurunan frekuensi/oliguri, (fase akhir) disuria ragu-ragu,
dorongan dan retensi, (inflamasi/obstruksi, infeksi), dan abdomen kembung,
diare atau konstipasi, riwayat HPB, batu/kalkuli.
Tanda:
Perubahan warna urin. Contoh: kuning pekat, merah, coklat, berawan, oliguria
(biasanya 12-21 hari), poliuri (2-6 L/ hari).
d.
Makanan/Cairan
Gejala:
Peningkatan berat badan (edema), penurunan berat badan (dehidrasi) Mual,
muntah, anoreksia, nyeri ulu hati. Penggunaan diuretik.
Tanda:
Perubahan turgor kulit/kelembaban dan edema (umum, bagian bawah).
e.
Neurosensori
Gejala:
Sakit kepala, penglihatan kabur, dan kram otot/kejang sindrom “kaki gelisah”.
Tanda:
Gangguan status mental, contoh penurunan lapang perhatian, ketidak mampuan
berkonsentrasi, hilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran (azotemia, ketidakseimbangan
elektrolit/asam basa), kejang, fasikulasi otot, dan aktivitas kejang.
f.
Nyeri/keamanan
Gejala:
Nyeri tubuh, sakit kepala.
Tanda:
Perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah.
g.
Pernapasan
Gejala:
Napas pendek.
Tanda:
Takipnea, dispnea, peningkatan frekuensi, kedalamaman (pernapasan kussmaul), napas ammonia, batuk
produktif dengan sputum kental merah muda (edema paru).
h.
Keamanan
Gejala:
Adanya reaksi transfuse (kulit gatal, ada/berulangnya infeksi)
Tanda:
Demam (sepsis, dehidrasi), petekie (area kulit ekimosis), dan pruritus (kulit
kering).
i.
Seksualitas
Gejala:
Penurunan libido, amenorea, infertilitas
j.
Interaksi sosial
Gejala:
Kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu bekerja, mempertahankan fungsi
peran biasanya dalam keluarga
k.
Penyuluhan/pembelajaran
Gejala:
Riwayat DM keluarga (resiko tinggi untuk gagal ginjal), penyakit polikistik,
nefritis herediter, kalkulus urinaria, malignansi. Riwayat terpajan pada
toksin, contoh obat, racun lingkungan.Penggunaan antibiotik nefrotoksik saat
ini/berulang.
2.
Diagnosa
keperawatan
a. Kelebihan
volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran
urine, diet berlebih dan retensi cairan dan natrium.
b. Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah,
pembatasan diet dan perubahan membran mukosa mulut.
c. Kurang
pengetahuan tentang kondisi dan penanganan.
d. Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk sampah dan
prosedur dialisis.
e. Gangguan
harga diri berhubungan dengan ketergantungan, perubahan peran, perubahan citra
tubuh, dan fungsi seksual (Suzanne C. Smeltzer, dkk., 2002: 1452).
f. Resiko
tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidakseimbangan cairan
mempengaruhi volume sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskular sistemik.
g. Resiko
tinggi cedera (profil darah abnormal) berhubungan dengan penekanan
produksi/sekresi eritropoietin; penurunan produksi dan SDM hidupnya; gangguan faktor pembekuan;
peningkatan kerapuhan kapiler.
h. Perubahan
proses berfikir berhubungan dengan perubahan fisiologis: akumulasi toksin
(contoh urea, ammonia), asidosis metabolik, hipoksia, ketidakseimbangan
elektrolit,asam basa, dan
kalsifikasi metastatik pada otak.
i. Resiko
tinggi kerusakan integritas kulit berhubungan dengan gangguan status metabolik,
sirkulasi (anemia dengan iskemia jaringan) dan sensasi (neuropati perifer)
(Marilynn E Doenges, dkk., 2000: 626).
j. Gangguan perfusi jaringan
cerebral berhubungan dengan interupsi
aliran darah:gangguan oklusi,
hemoragi, vasospasme serebral, dan edema serebral.
3.
Intervensi Keperawatan dan Rasional
a.
Kelebihan
volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine, diet berlebih dan
retensi cairan dan natrium
Tujuan:
Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan
Kriteria Hasil:
1.
Tidak terjadi edema
2.
Menunjukkan pemasukan
dan pengeluaran mendekati seimbang
3.
Turgor kulit baik
4.
Membran mukosa lembab
5.
Berat badan dan tanda
vital stabil
6.
Elektrolit dalam batas
normal
Intervensi:
1. Kaji
status cairan:
a. Timbang
berat badan harian
b. Keseimbangan
masukan dan haluaran
c. Turgor
kulit dan adanya edema
d. Distensi
vena leher
e. Tekanan
darah, denyut dan irama nadi
R/:
pengkajian merupakan dasar dan data dasar berkelanjutan untuk memantau
perubahan dan mengevaluasi intervensi.
2. Batasi
masukan cairan
R/:
pembatasan cairan akan
menentukan berat tubuh ideal, haluaran urin, dan respons terhadap terapi.
3. Identifikasi
sumber potensial cairan:
a. Medikasi
dan cairan yang digunakan untuk pengobatan; oral dan intravena
b. Makanan
R/:
Sumber kelebihan cairan yang tidak diketahui dapat diidentifikasi
4. Jelaskan
pada pasien dan keluarga rasional pembatasan.
R/:
Pemahaman meningkatkan kerja sama pasien dan keluarga dalam pembatasan cairan.
5. Bantu
pasien dalam menghadapi ketidaknyamanan pembatasan cairan.
R/:
Kenyamanan pasien meningkatkan kepatuhan terhadap pembatasan diet.
6. Tingkatkan
dan dorong higiene oral dengan sering.
R/:
Higiene oral mengurangi kekeringan membran mukosa mulut.
b.
Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual, muntah,
pembatasan diet dan perubahan membran mukosa mulut.
Tujuan:
Mempertahankan perubahan nutrisi yang adekuat.
Kriteria Hasil:
1. Menunjukkan
BB stabil
2. Tidak
terjadi edema
3. Membran
mukosa lembab
Intervensi:
1. Kaji
status nutrisi:
a. Perubahan
berat badan
b. Pengukuran
antropometrik
c. Nilai
laboratorium (elektrolit serum, BUN, kreatinin, protein, transferin, dan kadar
besi)
R/:
Menyediakan data dasar untuk memantau perubahan dan mengevaluasi intervensi.
2. Kaji
pola diet nutrisi pasien:
a. Riwayat
diet
b. Makanan
kesukaan
c. Hitung
kalori
R/:
Pola diet dahulu dan sekarang dapat dipertimbangkan dalam menyusun menu.
3. Kaji
faktor yang berperan dalam merubah masukan nutrisi:
a. Anoreksia,
mual, muntah
b. Diet
yang tidak menyenangkan bagi pasien
c. Depresi
d. Kurang
memahami pembatasan diet
e. Stomatitis
R/:
Menyediakan informasi mengenai faktor lain yang dapat diubah atau dihilangkan
untuk meningkatkan masukan diet.
4. Menyediakan
makanan kesukaan pasien dalam batas-batas diet.
R/:
Mendorong peningkatan masukan diet.
5. Tingkatkan
masukan protein yang mengandung nilai biologis tinggi; telur, produk susu,
daging.
R/:
Protein lengkap diberikan untuk mencapai keseimbangan nitrogen untuk pertumbuhan dan penyembuhan.
6. Anjurkan
cemilan tinggi kalori, rendah protein, rendah natrium diantara waktu makan.
R/:
Mengurangi makanan dan protein yang dibatasi dan menyediakan kalori untuk energi, membagi protein untuk
pertumbuhan dan penyembuhan jaringan.
7. Jelaskan
rasional pembatasan diet dan hubungannya dengan penyakit ginjal dan peningkatan
urea dan kadar kreatinin.
R/:
Meningkatkan pemahaman pasien tentang hubungan antara diet, urea, dan kadar
kreatinin dengan penyakit renal.
8. Sediakan
daftar makanan yang dianjurkan secara tertulis dan anjuran untuk memperbaiki
rasa tanpa menggunakan natrium atau kalium.
R/:
Daftar yang dibuat menyediakan pendeketan positif terhadap
pembatasan diet dan merupakan referensi untuk pasien dan keluarga yang dapat
digunakan dirumah.
9. Ciptakan
lingkungan yang nyaman selama sewaktu makan.
R/:
Faktor yang tidak menyenangkan yang berperan dalam menimbulkan anoreksia dihilangkan.
10. Timbang
berat badan harian
R/:
Untuk memantau status cairan dan nutrisi.
11. Kaji
bukti adanya masukan protein yang tidak adekuat:
a. Pembentukan
edema
b. Penyembuhan
yang lambat
c. Penurunan
kadar albumin serum
R/:
Masukan protein yang tidak adekuat dapat menyebabkan penurunan albumin dan
protein lain, pembentukan edema, dan perlambatan penyembuhan.
c.
Kurang
pengetahuan tentang kondisi dan penanganan.
Tujuan:
Meningkatkan pengetahuan mengenai kondisi dan penanganan yang bersangkutan.
Kriteria Hasil:
1. Mengungkapkan
pemahaman tentang kondisi, pemeriksaan diagnostik dan rencana tindakan.
2. Sedikit
melaporkan perasaan gugup atau takut.
Intervensi:
1. Kaji
pemahaman mengenai penyebab gagal ginjal, konsekuensinya, dan penanganannya:
a. Penyebab
gagal ginjal pasien
b. Pengertian
gagal ginjal
c. Pemahaman
tentang fungsi renal
d. Hubungan
antara cairan, pembatasan diet dengan gagal ginjal
e. Rasional
penanganan (hemodialisis, dialisis peritoneal, transplantasi)
R/:
Merupakan instruksi dasar untuk penjelasan dan penyuluhan lebih lanjut.
2. Jelaskan
fungsi renal dan konsekuensi gagal ginjal sesuai dengan tingkat pemahaaman dan
kesiapan pasien untuk belajar.
R/:
Pasien dapat belajar tentang gagal ginjal dan penanganan setelah mereka siap
untuk memahami dan menerima diagnosis dan konsekuensinya.
3. Bantu
pasien untuk mengidentifikasi cara-cara untuk memahami berbagai perubahan
akibat penyakit dan penanganannya yang mempengaruhi hidupnya.
R/: Pasien dapat melihat bahwa kehidupannya tidak
harus berubah akibat penyakit.
4. Sediakan
informasi baik tertulis maupun secara lisan dengan tepat tentang:
a. Fungsi
dan kegagalan renal
b. Pembatasan
cairan dan diet
c. Medikasi
d. Melaporkan
masalah, tanda, dan gejala
e. Jadwal
tindak lanjut
f. Sumber
dikomunitis
g. Pilihan
terapi
R/:
Pasien memiliki informasi yang dapat digunakan untuk klarifikasi selanjutnya
dirumah.
d.
Intelorensi
aktifitas berhubungan dengan keletihan, anemia, retensi produk sampah dan
prosedur dialisis.
Tujuan:
Berpartisipasi dalam aktifitas yang dapat ditoleransi.
Kriteria Hasil:
1. Tidak
mengeluh lelah, berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan
darah, nadi
dan RR
2. Mampu
melakukan aktivitas sehari
hari (ADL) secara mandiri
3. Laporan
perasaan lebih berenergi
4. Frekuensi
pernapasan dan frekuensi jantung kembali dalam rentang normal setelah
penghentian aktifitas.
5. Keseimbangan
aktivitas dan istiraha
Intervensi:
1. Kaji
faktor yang menimbulkan keletihan:
a. Anemia
b. Ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit
c. Retensi
produk sampah
d. Depresi
R/:
Menyediakan informasi tentang indikasi tingkat keletihan.
2. Tingkatkan
kemandirian dalam aktivitas perawatan diri yang dapat ditoleransi; bantu jika
keletihan terjadi.
R/:
Meningkatkan aktivitas ringan/ sedang dan memperbaiki harga diri.
3. Anjurkan
aktivitas alternatif sambil istitahat
R/:
Mendorong latihan dan dalam aktivitas dalam batas-batas yang dapat ditoleransi
dan istirahat yang adekuat.
4. Anjurkan
untuk beristirahat setelah dialisis.
R/:
Istirahat yang adekuat dianjurkan setelah dialisis, yang bagi banyak pasien
melelahkan.
e.
Gangguan
harga diri berhubungan dengan ketergantungan, perubahan peran, perubahan citra
tubuh, dan fungsi seksual.
Tujuan:
Memperbaiki konsep diri
Kriteria
Hasil:
1.
Mau berkomunikasi
dengan orang terdekat tentang situasi dan perubahan yang terjadi
2.
Mengungkapkan
penerimaan pada diri sendiri dalam situasi.
Intervensi:
1. Kaji
respons dan reaksi pasien dan keluarga terhadap penyakit dan penanganan
R/: Menyediakan data tentang masalah pada pasien dan
keluarga dalam menghadapi perubahan dalam hidup.
2. Kaji
hubungan antara anggota keluarga terdekat.
R/: Penguatan dan dukungan terhadap pasien
diidentifikasi.
3. Kaji
pola koping pasien dan anggota keluarga.
R/:
Pola koping yang telah efektif dimasa lalu mungking berpotensial destruktif ketika memandang pembatasan yang ditetapkan
akibat penyakit dan penanganan.
4. Penanganannya:
a. Perubahan
peran
b. Perubahan
gaya hidup
c. Perubahan
dalam pekerjaan
d. Perubahan
seksual
e. Ketergantungan
pada tim tenaga kesehatan
R/:
Pasien dapat mengidentifikasi masalah dan langkah-langkah yang diperlukan untuk
menghadapinya.
5. Gali
cara alternatif untuk ekspreksi seksual lain selain hubungan seksual.
R/: Bentuk alternatif ekspresi seksual dapat diterima.
6. Diskusikan
peran memberi dan menerima cinta, kehangatan, dan kemesraan.
R/: Seksualitas mempunyai arti yang berbeda bagi
tiap individu, tergantung pada tahap maturitasnya (Suzanne C. Smeltzer,dkk.,
2002: 1452)
f.
Resiko
penurunan curah jantung berhubungan dengan ketidakseimbangan cairan
mempengaruhi volume sirkulasi, kerja miokardial dan tahanan vaskular sistemik.
Tujuan :
Mempertahankan curah jantung dengan bukti TD dan frekuensi jantung dalam batas
normal; nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler.
Kriteria Hasil: Mempertahankan
curah jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas
normal, nadi perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler.
Intervensi :
1. Kaji
adanya/derajat hipertensi: awasi TD; perhatikan perubahan postural, contoh duduk, berbaring, berdiri.
R/:
Hipertensi bermakna dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron
renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal). Meskipun hipertensi umum,
hipotensi ortostatik dapat terjadi sehubungan dengan defisit cairan, respon
terhadap obat arti hipertensi, atau tamponade perikardial uremik.
2. Selidiki
keluhan nyeri dada, perhatikan lokasi, radiasi, beratnya (skala 0-10) dan
apakah tidak menetap dengan inspirasi dalam dan posisi terlentang.
R/:
Hipertensi dan GJK (Gagal Jantung Kiri) kronis dapat menyebabkan IM (Infark
Miokard), kurang lebih pasien GGK dengan dialisis mengalami perikarditis,
potensial resiko efusi perikardial/tamponade.
3. Evaluasi
bunyi jantung (perhatikan friction rub). TD, nadi perifer, pengisian kapiler,
kongesti vaskular, suhu dan sensori/mental .
R/:Adanya
hipotensi tiba tiba nadi paradoksik, penyempitan tekanan nadi, penurunan/tak
adanya nadi perifer. Distensi jugular nyata, pucat, dan penyimpangan mental,
cepat menunjukan tamponade, yang merupakan kedaruratan medik.
4. Kaji
tingkat aktivitas respons terhadap aktivitas.
R/: Kelelahan dapat menyertai GJK juga anemia.
h.
Resiko
tinggi cedera (profil darah abnormal) berhubungan dengan penekanan
produksi/sekresi eritropoietin; penurunan produksi dan SDM hidupnya; gangguan faktor pembekuan;
peningkatan kerapuhan kapiler.
Tujuan:
Tak mengalami tanda atau gejala pendarahan.
Kriteria Hasil:
1. Mengidentifikasi
bahaya lingkungan yang dapat meningkatkan kemungkinancidera
2. Mengidentifikasi
tindakan preventif atas bahaya tertentu,
3. Melaporkan
penggunaan cara yang tepat dalam melindungi diri dari cidera
Intervensi:
1. Perhatikan
keluhan peningkatan kelelahan, kelemahan observasi takikardia, kulit/ membran
mukosa pucat, dispnea, nyeri dada. Rencanakan aktivitas pasien untuk
menghindari kelelahan.
R/:
Dapat menunjukan anemia dan respon jantung untuk mempertahankan oksigenisasi
sel.
2. Awasi
tingkat kesadaran dan perilaku
R/:
Anemia dapat menyebabkan hipoksia serebral dengan perubahan mental, orientasi,dan
respon perilaku.
3. Evaluasi
respon terhadap aktivitas. kemampuan untuk melakukan tugas. Bantu sesuai kebutuhan
dan buat jadwal untuk istirahat .
R/:
Anemia menurunkan oksigenasi jaringan dan meningkatkan kelelahan, sehingga
memerlukan intervensi,perubahan aktivitas dan istirahat .
4. Batasi
contoh vaskular, kombinasikan tes laboratorium bila mungkin.
R/:
Pengambilan contoh darah berulang/ kelebihan dapat memperburuk anemia.
5. Hematemesis
sekresi GI/ darah feses .
R/:
Stres dan abnormalitas hemostatik dapat mengakibatkan pendarahan GI
6. Berikan
sikat gigi halus, pencukur elektrik; gunakan jarum kecil bila mungkin dan
lakukan penekanan lebih lama setelah penumpukan/penusukan vaskular.
R/: Menurunkan resiko pendarahan /pembentukan
hematoma.
i.
Perubahan
proses berfikir berhubungan dengan perubahan fisiologis: akumulasi toksin
(contoh urea, ammonia), asidosis metabolik, ketidakseimbangan elektrolit,
kalsifikasi metastatik pada otak.
Tujuan:
Meningkatkan mental biasanya, dan mengidentifikasi cara untuk mengkompensasi
kognitif/defisit memori.
Kriteria Hasil:
1. Mampu
mengenali perubahan dalam berfikir/tingkah laku dan faktor-faktor penyebab jika
memungkinkan
2. Mampu
memperlihatkan penurunan tingkah laku yang tidak di inginkan ancaman dan
kebingungan
Intervensi:
1. Kaji
luasnya gangguan kemampuan berfikir, memori, dan orientasi. Perhatikan lapang
perhataian.
R/:
Efek sindrom uremik dapat terjadi dengan kekacauan/peka minor dan berkembang ke
perubahan kepribadian atau ketidakmampuan untuk mengasimilasi informasi dan
berpartisipasi dalam perawatan. Kewaspadaan terhadap perubahan memberikan kesempatan
untuk evaluasi dan intervensi
2. Pastikan
dari orang terdekat, tingkat mental pasien biasanya.
R/:
Memberikan perbandingan untuk
mengevaluasi perkembangan/perbaikan
gangguan.
3. Berikan
orang terdekat informasi tentang status pasien.
R/:
Beberapa perbaikan dalam mental mungkin diharapkan dengan perbaikan kadar BUN,
elektrolit, dan pH serum yang lebih normal.
4. Berikan
lingkungan tenang dan izinkan menggunakan televisi, radio dan kunjungan.
R/:
Meminimalkan rangsangan lingkungan untuk menurunkan kelebihan
sensori/peningkatan kekacauan saat mencegah deprivasi sensori.
5. Orientasikan
kembali terhadap lingkungan, orang, dan sebagainya. Berikan kalender, jam,
jendela ke luar.
R/:
Memberikan petunjuk untuk membentu dalam pengenalan kenyataan.
6. Hadirkan
kenyataan secara singkat, ringkas, dan jangan menantang dengan pemikiran yang
tak logis.
R/:
Konfrontasi potensial membuat reaksi perlawanan dan dapat menimbulkan
ketidakpercayaan pasien dan meningkatkan penolakan terhadap kenyataan.
7. Komunikasikan
informasi/instruksi dalam kalimat pendek dan sederhana. Tanyakan pertanyaan
ya/tidak. Ulangi penjelasan sesuai keperluan.
R/:
Dapat membantu menurunkan kekacauan dan meningkatkan kemungkinan bahwa
komunikasi akan dipahami/diingat.
8. Buat
jadwal teratur untuk aktifitas yang diharapkan.
R/:
Membantu dalam mempertahankan orientasi kenyataan dan dapat menurunkan kekacauan.
9. Tingkatkan
istirahat adekuat dan tidak mengganggu periode tidur.
R/:
Gangguan tidur dapat menggaggu kemampuan kognitif lebih lanjut.
10. Awasi
pemeriksaan laboratorium, contoh, BUN/kreatinin, elektrolit serum, kadar
glukosa, dan GDA (PO2, pH).
R/: Perbaikan
peningkatan/ketidakseimbangan dapat mempengaruhi kognitif/mental.
11. Berikan
tambahan O2 sesuai indikasi.
R/:
Perbaikan hipoksia saja dapat memperbaiki kognitif.
12. Hindari
penggunaan barbiturate dan opiat.
R/:
Obat-obatan secara normal di detoksifikasi dalam ginjal akan mengalami waktu
paruh/efek akumulasi, memperburuk kekacauan.
13. Siapkan
untuk dialysis.
R/:
Penyimpangan proses pikir nyata dapat menunjukkan memburuknya azotemia dan
kondisi umum, memerlukan intervensi cepat untuk meningkatkan hemostasis.
i.
Integritas
kulit kerusakan resiko tinggi berhubungan dengan gangguan status metabolik,
sirkulasi (anemia dengan iskemia jaringan) dan sensasi (neuropati perifer).
Tujuan:
Mempertahankan kulit utuh atau menunjukan perilaku/tehnik untuk mencegah
kerusakan/cedera kulit.
Kriteria Hasil:
1. Mempertahankan
kulit utuh,
2. Menunjukan
perilaku / teknik untuk mencegah kerusakan kulit.
Intevensi:
1. Inspeksi
kulit terhadap perubahan warna, turgor, vaskular. Perhatikan kemerahan ,
ekskoriasi, observasi terhadap ekimosis, purpura.
R/:
Menandakan area sirkulasi buruk /kerusakan yang dapat menimbulkan pembentukan
dekubitus /infeksi .
2. Pantau
masukan cairan dan hidrasi kulit dan membran mukosa .
R/:
Mendeteksi adanya dehidrasi atau hidrasi berlebihan yang mempengaruhi sirkulasi
dan integritas jaringan pada tingkat seluler.
3. Inspeksi
area tergantung terhadap edema .
R/:
Jaringan edema lebih cenderung rusak /robek .
4. Ubah
posisi dengan sering; gerakan
pasien dengan perlahan: beri bantalan pada tonjolan tulang dengan kulit domba, pelindung siku /tumit.
R/: Menurunkan
tekanan pada edema, jaringan
dengan perfusi buruk untuk menurunkan iskemia. Peningggian
meningkatkan aliran balik statis vena terbatas/pembentukan edema.
5. Berikan
perawatan kulit. Batasi penggunaan sabun, berikan salep atau krim (mis:
Lanolin, aquaphor).
R/:
Soda kue, mandi dengan tepung menurunkan gatal dan mengurangi pengeringan dari
pada sabun, lotion dan salep mungkin diinginkan untuk menghilangkan kering,
robekan kulit.
6. Pertahankan
linen kering, bebas keriput.
R/:
Menurunkan iritasi dermal dan resiko kerusakan kulit.
7. Selidiki
keluhan gatal.
R/:
Meskipun dialisis mengalami masalah kulit yang berkenaan dengan uremik, gatal
dapat terjadi sarana kulit adalah rute ekskresi untuk produk sisa mis: krital
prostat (berkenaan dengan hiperparatiroidisme
pada penyakit tahap akhir).
8. Anjurkan
pasien menggunakan kompres lembab dan dingin untuk memberikan tekanan (dari
pada garukan) pada area pruritus. Pertahankan kuku pendek: berikan sarung
tangan selama tidur bila diperlukan
R/:Menghilangkan
ketidaknyamanan dan menurunkan resiko cedera dermal
9. Anjurkan
menggunakan pakaian katun longgar .
R/:
Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab pada kulit.
j.
Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan interupsi
aliran darah: gangguan
oklusi,
hemoragi, vasospasme serebral, dan edema serebral.
Tujuan:
Kriteria Hasil:
1.
Mempertahankan tingkat kesadaran
membaik, fungsi kognitif, dan motorik atau sensoris
2.
Mendemonstrasikan tanda-tanda
vital stabil dan tidak adanya tanda-tanda peningkatan TIK.
3.
Menunjukan tidak ada kelanjutan kekambuhan.
4.
Memperlihatkan penurunan tanda
dan gejala kerusakan jaringan
Intervensi:
1.
Observasi dan catat status
neurologis sesering mungkin dan bandingkan dengan keadaan normalnya.
R/: mengetahui tingkat kesadaran,
risiko peningkatan TIK, mengetahui lokasi, luas, dan kemajuan atau resolusi
kerusakan SSP
2.
Observasi tanda- tanda vital.
R/: memonitor variasi terjadinya
tekanan atau trauma serebral pada daerah vasomotor otak, perubahan irama
jantung seperti bradikardi, disritmia dan murmur, dan juga untuk mengetahui
ketidakteraturan pernapasan untuk menggambarkan lokasi kerusakan serebral.
3.
Evaluasi pupil, catat ukuran,
bentuk, kesamaan, dan reaksinya terhadap cahaya.
R/: reaksi pupil diatur oleh
saraf kranial okulomotor (III) berguna menentukan apakah batang otak masih
baik. Ukuran dan kesamaan pupil ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan
simpatis dan parasimpatis. Respons terhadap reflex cahaya mengkombinasikan
fungsi dari saraf kranial optikus (II) dan saraf kranial okulomotor (III).
4.
Catat perubahan dalam
penglihatan, seperti adanya kebutaan, gangguan lapang pandang, atau
kedalaman persepsi.
R/: gangguan penglihatan yang
spesifik mencerminkan daerah otak yang terkena, mengindikasikan keamanan yang
harus mendapat perhatian dan memengaruhi intervensi.
5.
Kaji fungsi-fungsi
yang lebih tinggi, seperti fungsi bicara.
R/: perubahan dalam isi kognitif
dan bicara merupakan indikator dari lokasi atau derajat gangguan serebral
mengindikasikan penurunan atau peningkatan TIK.
6.
Letakkan kepala dengan posisi
agak ditinggikan dan dalam posisi anatomis (netral).
R/: menurunkan tekanan arteri
dengan meningkatkan drainase dan meningkatkan sirkulasi atau perfusi serebral.
7.
Pertahankan keadaan tirah baring,
ciptakan lingkungan yang tenang, batasi aktivitas sesuai indikasi. Berikan
istirahat secara periodik antara aktivitas perawatan.
R/: aktivitas atau stimulasi yang kontinu dapat meningkatkan TIK.
Istirahat total dan ketenangan diperlukan untuk pencegahan terhadap perdarahan
stroke hemoragik atau perdarahan lainnya.
8.
Cegah terjadinya mengejan saat
defekasi, dan pernapasan yang memaksa.
R/: memperbesar risiko
terjadinya perdarahan.
9.
Kaji kedutan, kegelisahan yang
meningkat, peka rangsang, dan kemungkinan serangan
kejang.
R/: merupakan indikasi iritasi
meningeal. Kejang mengindikasikan peningkatanTIK atau trauma serebral yang
memerlukan perhatian dan intervensi.
10.
Berikan oksigen sesuai indikasi.
R/: menurunkan hipoksia yang
menyebabkan vasodilatasi serebral dan tekanan meningkat atau terbentuknya edema
4.
Implementasi
Keperawatan
Fokus tahap pelaksanaan tindakan keperawatan adalah
kegiatan pelaksanaan tindakan dari perencanaan untuk memenuhi kebutuhan fisik
dan emosional. Pendekatan
tindakan keperawatan meliputi tindakan independen, dependen, dan interdependen.
a. Independen
(mandiri)
Tindakan keperawatan independen adalah suatu kegiatan yang
dilaksanakan oleh perawat tanpa petunjuk dan perintah dari dokter atau tenaga
kesehatan lain.
b. Dependen
Tindakan dependen berhubungan dengan pelaksanaan
rencana tindakan medis. Tindakan tersebut menandakan suatu cara dimana tindakan
medis dilaksanakan.
c. Interdependen
Interdependen merupakan tindakan keperawatan yang menjelaskan
suatu kegiatan yang memerlukan
suatu kerjasama dengan tenaga kesehatan lainnya, misalnya dokter, ahli gizi,
fisioterapi, dan tenaga sosial.
5.
Evaluasi
Ada dua komponen untuk megevaluasi kualitas tindakan
keperawatan, yaitu:
a. Evaluasi
Formatif (proses)
Fokus tipe evaluasi ini adalah aktifitas dari proses
keperawatan dan hasil kualitas pelayanan tindakan keperawatan. Evaluasi proses
harus dilaksanakan segera setelah perencanaan keperawatan dilaksanakan untuk
membantu keefektifan terhadap tindakan evaluasi formatif dan dilakukan secara
terus-menerus dilaksanakan sampai tujuan yang telah ditentukan tercapai.
b. Evaluasi
Sumatif (hasil)
Fokus evaluasi ini adalah perubahan perilaku atau
status kesehatan pasien pada akhir tindakan keperawatan pasien.Tipe evaluasi
ini dilaksanakan pada akhir tindakan keperawatan secara paripurna.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ginjal merupakan organ vital yang
berperan sangat penting untuk mempertahankan keseimbangan lingkungan dalam
tubuh. Gagal ginjal kronis (chronic ranal failure) didefinisikan sebagai nilai
laju filtrasi glomerulus (GFR) yang berada di bawah batas normal selama > 3
bulan. Komplikasi
gagal ginjal kronik adalah hipertensi, anemia, gagal jantung, asidosis metabolik,
perikarditis dan osteodistrofi renal. Pasien datang dengan keluhan, pusing
cekot-cekot, tengkuk terasa tegang dan kaku, sesak napas, mual dan muntah serta
badan terasa lemas. Pasien adalah penderita gagal ginjal dan rutin melakukan
hemodialisa seminggu 2 kali.
Penatalaksanaan pada pasien ini
lebih ditekankan pada terapi terhadap komplikasi seperti pemberian clonidin dan
nifedipine untuk menurunkan tekanan
darahnya, CaCO3 untuk menghindari hiperfosfatemia yang dapat
mengakibatkan terjadinya osteodistrofi renal, furosemide untuk mengurangi edema
pulmo dan edema pada kedua tungkai yang merupakan manifestasi dari CHF (Chronic
Heart Failure). Prinsip penatalaksanaan pada pasien ini telah sesuai dengan
prinsip penatalaksanaan pasien dengan gagal ginjal kronik yang disertai
komplikasi, hanya saja terapi untuk anemianya belum diberikan. Salah satu cara
menegakkan diagnosis gagal ginjal adalah dengan menilai kadar ureum dan
kreatinin serum, karena kedua senyawa ini hanya dapat diekskresi oleh ginjal.
B.
Saran
Penderita GGK
dengan laju filtrasi glomerulus sekitar 50 ml/menit harus mewaspadai adanya
kecenderungan untuk terjadinya kegagalan fungsi ginjal lebih lanjut.
Dalam usaha memperlambat progresi
gagal ginjal maka penting dilakukan pengobatan terhadap hipertensi. Selain itu pembatasan
asupan protein,
retriksi fosfor, pengurangan proteinuria dan pengendalian hiperlipidemia
adalah tahap lainnya dalam memperlambat progresi gagal ginjal. Pencegahan
kerusakan gagal ginjal lebih lanjut dapat dilakukan dengan penambahan cairan
fisiologis (rehidrasi), dan penanganan sepsis. Pengelolaan uremia dan
komplikasinya dilakukan dengan penyeimbangan cairan dan elektrolit serta
penanganan asidosis metabolik, hiperkalemia, diet rendah protein, dan anemia.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges
Marilynn E, dkk. 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan. Jakarta: EGC
Kowalak,
dkk. 2011. Buku Ajar Patofisiologi.
Jakarta:EGC.
Smeltzer Suzanne C dan Brenda G
Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah
Brunner & Sudarth edisi 8 vol 2.
Jakarta: EGC.
Sudoyo, Aru W, Setiyohadi, Alwi,
Simadibrata, dkk.2006. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD
FKUI.
Suharyanto Toto dan Abdul
Madjid.2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta. TIM.
Syaifuddin. 2009. Fisiologi
Tubuh Manusia edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.
Merit Casino in CA - Deccasino
BalasHapusMerit casino and poker rooms in 샌즈카지노 California are located 메리트카지노 in Valley Center, CA. Visit their website, log in, or visit their 바카라 사이트 website.